Kisah Perjalanan Umroh Mandiri yang Mengubah Hidup

Langkah itu masih kuingat jelas. Suara roda koper menggesek lantai bandara, tanganku sedikit bergetar, bukan karena lelah, tapi karena takut. Aku tidak memakai tanda pengenal rombongan manapun, tidak mengikuti kelompok travel, tidak ada pemandu yang menanti dengan papan nama di pintu kedatangan. Semua orang sekelilingku tampak begitu yakin dengan langkah mereka, sementara aku berdiri mematung, bertanya-tanya dalam hati apakah keputusanku ini benar.

Keputusan itu sederhana namun penuh resiko: aku memilih menjalani umroh tanpa rombongan. Aku ingin merasakan langsung bagaimana menjadi tamu Allah dengan usahaku sendiri, bertualang sekaligus bertawakal. Banyak yang menganggap pilihanku nekat, sebagian bahkan menertawakan keberanian yang menurut mereka hanya akan menyulitkan diri sendiri. Namun entah mengapa, aku justru merasa inilah cara paling jujur untuk mendekat kepada-Nya.

Begitu memasuki pesawat, semuanya terasa lebih berat. Aku duduk di bangku dekat jendela, menatap langit malam. Doa-doa kupanjatkan tanpa suara. Aku mengingat segala masa lalu, kesalahan, pilihan, dan rasa bersalah yang tak pernah benar-benar pergi. Perjalanan ini seperti panggilan pulang, bukan pulang ke tempat tinggal, tetapi pulang ke hati yang selama ini terasa hilang.

Tantangan pertama dimulai di Jeddah. Aku harus mencari shuttle menuju Makkah, sementara sinyal ponsel tiba-tiba bermasalah. Di tengah kerumunan orang yang terburu-buru, aku berdiri sendirian tak tahu arah. Inilah momen ketika aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku terlalu percaya diri? Namun tak lama kemudian, seorang pria asing dengan bahasa Inggris terbata-bata menawarkan bantuan. Ia menunjukkan arah terminal shuttle dan memastikan aku menaiki bus yang tepat. Pertolongan datang dari arah yang tidak pernah kuduga.

Perjalanan ke Makkah memakan waktu hampir dua jam. Malam tampak panjang, tetapi hatiku justru semakin tenang. Lampu-lampu kota menyala melewati jendela bus, sementara pikiranku sibuk membayangkan seperti apa momen pertama melihat Ka’bah nanti. Aku bahkan takut membayangkannya karena seakan tidak layak.

Tiba di hotel, aku hanya punya waktu sebentar untuk mandi dan membereskan barang sebelum berangkat ke Masjidil Haram. Tidak peduli tubuh lelah, aku ingin berangkat saat itu juga. Saat berjalan kaki menuju masjid, tangisku tidak terbendung. Udara terasa berbeda, seakan lembut membelai wajah. Detak jantungku semakin cepat ketika suara adzan berkumandang. Semuanya terasa sangat dekat, sangat nyata.

Dan akhirnya saat itu datang. Ketika Ka’bah pertama kali terlihat, kakiku terasa berat seperti tak sanggup melangkah. Air mataku mengalir begitu saja. Aku bahkan tidak tahu doa apa yang harus kuucapkan dulu. Aku hanya berdiri terpaku, membiarkan setiap penyesalan, kerinduan, dan kehancuran dalam hidupku luruh di bawah pandangan itu. Aku merasa kecil, tetapi juga begitu diterima.

Selama beberapa hari ke depan, aku menjalani setiap rangkaian ibadah sendirian. Thawaf, sa’i, tahallul, semua kulalui dengan perasaan campur aduk. Kadang takut tersesat, kadang kelelahan, kadang bingung membaca penunjuk arah. Tetapi setiap kali ketakutan itu muncul, selalu ada pertolongan. Kadang dari seseorang yang tiba-tiba menawarkan air zam-zam, kadang dari jamaah lain yang mau menunjukkan rute, kadang dari petugas masjid yang tersenyum seolah mengerti kebingunganku.

Di salah satu malam, aku duduk lama di pelataran masjid. Kubuka kembali catatan alasan kenapa aku memutuskan melakukan perjalanan ini. Bukan tentang biaya atau sekadar ingin pengalaman berbeda. Lebih dalam dari itu, aku ingin mengenal Allah tanpa perantara manusia. Aku ingin membangun hubungan tanpa syarat, tanpa pengingat wajib dari orang lain, tanpa motivasi eksternal. Hanya aku dan Tuhanku.

Dalam hati kecilku aku menyadari, perjalanan ini bukan tentang pergi sendirian, tetapi tentang belajar bersandar. Justru ketika seseorang memilih melakukan umroh mandiri, ia sedang melatih tawakal yang sesungguhnya. Ia berjalan bukan karena merasa mampu, tetapi karena percaya bahwa Allah akan selalu cukup untuk menuntun langkah kaki, sejauh apa pun perjalanannya.

Setelah kembali ke Indonesia, banyak orang bertanya bagaimana caranya, apa tipsnya, apa saja tantangannya. Jawabanku selalu sama, perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan batin. Tidak semua orang perlu atau harus menjalani umroh tanpa rombongan, tetapi siapa pun bisa mengambil hikmah bahwa kedekatan dengan Allah bukan tentang ramai atau sepi, bukan tentang berkelompok atau sendiri, melainkan tentang kesiapan hati untuk benar-benar berserah.

Aku pulang membawa sesuatu yang tidak bisa dibeli: rasa yakin. Yakin bahwa apa pun badai hidup yang akan datang nanti, aku tidak pernah benar-benar sendirian. Pertolongan selalu datang pada waktu yang seharusnya. Cinta Tuhan tidak pernah terlambat.

Dan hingga hari ini, setiap kali aku mengingat perjalanan itu, aku tahu satu hal pasti: aku berangkat sebagai seseorang yang hilang dan kembali sebagai seseorang yang pulang.

Leave a comment