
Aku tidak pernah menyangka, bahwa setelah menunaikan ibadah umroh bersama suamiku, kami akan menutup perjalanan spiritual ini dengan sesuatu yang begitu indah: menjelajahi bumi para sultan, negeri yang menjadi jembatan antara Timur dan Barat — Turki.
Sejak awal, aku memang punya rasa penasaran dengan negeri ini. Dari cerita sejarah yang sering kudengar, Turki bukan sekadar destinasi wisata, tapi saksi perjalanan panjang peradaban Islam. Karena itu, begitu suamiku bilang kami akan ikut program umroh plus turki, aku langsung mengangguk tanpa berpikir panjang.
Begitu menjejakkan kaki di Istanbul, aku langsung tahu: tempat ini istimewa. Udara dinginnya menyentuh kulit, tapi ada kehangatan yang terasa di hati. Bangunan-bangunan tua berdiri megah seolah menyimpan jutaan cerita masa lalu. Dari balik jendela bus yang membawa kami dari bandara, kulihat menara-menara masjid menjulang di kejauhan, seolah menyambut kami dengan salam penuh berkah.
Tujuan pertama kami adalah Hagia Sophia, bangunan yang dulunya gereja, lalu menjadi masjid, dan kini kembali difungsikan sebagai tempat ibadah umat Islam. Saat aku melangkah ke dalam, aku seperti sedang melintasi waktu. Kubah besar menjulang tinggi, kaligrafi bertuliskan nama Allah سبحانه وتعالى terpampang megah di antara dinding batu berusia ratusan tahun. Suamiku menatap ke atas, matanya berbinar. Ia berbisik pelan, “Inilah bukti bahwa Islam bukan sekadar agama, tapi peradaban.”
Tak jauh dari sana, kami berziarah ke Masjid Sultan Ahmed atau Masjid Biru, salah satu masjid terindah di dunia. Lantai marmernya sejuk di kaki, dan saat adzan berkumandang, seluruh tubuhku merinding. Ada sesuatu yang sangat tenang di dalamnya — mungkin karena suara adzan di Istanbul terdengar seperti doa yang menyelimuti langit. Aku menangis, bukan karena sedih, tapi karena merasa begitu kecil di hadapan kebesaran Allah سبحانه وتعالى.
Di sore hari, kami menyusuri Selat Bosphorus dengan kapal. Angin dingin menerpa wajah, sementara dari kejauhan terlihat kota Istanbul dengan perpaduan arsitektur modern dan klasik. Di tengah perjalanan, suamiku menggenggam tanganku erat. Ia berkata, “Kita di antara dua benua, tapi hati kita satu arah — menuju Allah سبحانه وتعالى.” Kalimat itu begitu sederhana, tapi entah kenapa terasa sangat dalam.
Perjalanan kami berlanjut ke Bursa, kota yang lebih tenang tapi penuh sejarah. Di sinilah awal mula berdirinya Kesultanan Utsmani. Kami mengunjungi Masjid Ulu Cami, masjid besar dengan 20 kubah dan kaligrafi indah di setiap sudutnya. Saat duduk bersandar di pilar batu, aku merasakan ketenangan luar biasa. Seolah waktu berhenti. Seorang wanita tua duduk di sampingku, wajahnya lembut dan teduh. Ia berkata dalam bahasa Turki yang diterjemahkan oleh pemandu kami, “Bursa adalah tempat para sultan belajar rendah hati. Keagungan sejati datang dari hati yang bersih.” Aku hanya bisa tersenyum, karena kalimat itu terasa seperti pesan dari masa lalu.
Kami juga berziarah ke Makam Osman Gazi, pendiri Dinasti Utsmani. Di sana aku belajar bahwa kejayaan tidak datang dalam semalam. Osman memulai segalanya dengan keimanan yang kuat dan niat yang lurus. Melihat makamnya membuatku berpikir, bahwa setiap manusia bisa meninggalkan jejak kebaikan jika hidupnya berlandaskan iman.
Dari Bursa, perjalanan membawa kami ke Cappadocia — tempat yang seperti diambil langsung dari negeri dongeng. Dataran tinggi, lembah batu, dan langit yang terbuka luas. Di pagi hari kami naik balon udara, menyaksikan matahari terbit dari atas langit. Saat sinarnya menyapu lembah batu yang berwarna keemasan, aku menatap suamiku. “Subhanallah,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Ia tersenyum dan mengusap bahuku. “Lihat, semua ini tanda cinta Allah سبحانه وتعالى untuk kita.”
Turki bukan hanya tentang pemandangan indah atau bangunan megah. Di Derinkuyu Underground City, kami melihat sisi lain dari sejarah. Lorong-lorong gelap itu dulunya tempat persembunyian umat beriman yang berjuang mempertahankan akidah. Aku membayangkan bagaimana mereka bertahan dalam kegelapan, tapi tetap menjaga cahaya iman dalam hati. Saat itu aku sadar, bahwa dalam kehidupan modern yang penuh godaan ini, kita pun sedang berjuang — bukan melawan musuh, tapi melawan diri sendiri.
Di akhir perjalanan, kami duduk di tepi Galata Bridge, menatap laut yang membelah Istanbul. Aku menggenggam secangkir teh apel hangat, sementara matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Suamiku berkata pelan, “Kita sudah banyak melewati hal dalam hidup ini. Tapi setiap kali kita berjalan bersama, aku tahu Allah سبحانه وتعالى selalu menjaga langkah kita.”
Aku menatapnya lama. Perjalanan ini bukan hanya tentang mengunjungi tempat baru, tapi tentang menemukan versi terbaik dari diri kami sendiri. Kami datang sebagai pasangan yang ingin berlibur setelah ibadah, tapi pulang sebagai dua jiwa yang lebih dewasa dalam cinta dan iman.
Turki telah mengajarkan kami satu hal penting: bahwa cinta sejati tumbuh ketika dua hati berjalan di jalan yang sama — jalan menuju Allah سبحانه وتعالى.
Kini setiap kali aku menatap langit senja di rumah, aku selalu teringat warna langit Cappadocia. Langit yang menjadi saksi bagaimana cinta, sejarah, dan iman berpadu indah dalam satu perjalanan yang tak akan pernah kami lupakan.